Dosen pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd Flores_Nusa Tenggara Timur.\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd Alumni Doktoral Prodi Studi Islam Kajian Dialog Antar Iman di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Ikhtiar Menyatukan Bangsa di Tengah Polarisasi

9 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Demokrasi modern lahir dari upaya menghindarkan kekuasaan absolut. Salah satu pilar terpenting adalah pembatasan masa jabatan presiden. Konstitusi Indonesia, pasca-amandemen UUD 1945, tegas menetapkan dua periode sebagai batas masa jabatan kepala negara.
Iklan

Indonesia membutuhkan narasi politik baru yang menyatukan, menolak ekstremisme identitas, dan mengusung visi kebangsaan yang inklusif.

[Urgensitas Dialog Antariman dalam Konstelasi Politik]

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Richardus Beda Toulwala_Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM)_Ende

Anselmus DW Atasoge_Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa (STIPAR)_Ende

 

Situasi politik Indonesia sedang mengarah pada polarisasi. Narasi identitas semakin mendominasi ruang publik. Pragmatisme elektoral menguat di berbagai lini komunikasi politik. Wacana kebangsaan mulai kehilangan tempat. Banyak aktor politik lebih memilih retorika kelompok daripada membangun visi bersama.

Fenomena ini memunculkan kekhawatiran serius. Politik identitas yang ekstrem dapat mengusir pemilih moderat. Strategi eksklusif justru melemahkan daya tarik partai terhadap publik yang rasional. Retorika sektarian mempersempit ruang dialog dan memperbesar potensi konflik sosial.

William Liddle dalam tulisannya “Media, Identity, and the Rise of Identity Politics in Indonesia” (Journal of Democracy, 2020) memberi peringatan tegas. Ia menyoroti bahaya politik identitas yang berlebihan. Demokrasi deliberatif bisa runtuh jika partai terus mengejar dukungan dengan pendekatan sektarian. Narasi inklusif dan kebangsaan perlu segera dibangun kembali.

Politik identitas awalnya bertujuan baik. Ia memberi ruang bagi kelompok yang selama ini terpinggirkan. Dalam beberapa kasus, pendekatan ini berhasil. Misalnya, pengakuan terhadap hak masyarakat adat dalam kebijakan lokal. Namun, praktik politik sering menyimpang. Identitas berubah menjadi alat mobilisasi emosi. Agama dan etnis dijadikan senjata retoris untuk meraih suara. Ruang publik pun menjadi arena konflik, bukan tempat dialog.

Pendekatan eksklusif membawa dampak serius. Ia merusak kepercayaan antar kelompok. Ia memperkuat stereotip dan prasangka. Contohnya, kampanye yang menyudutkan kelompok agama tertentu demi kepentingan elektoral. Akibatnya, masyarakat menjadi curiga satu sama lain. Kerja sama lintas identitas menjadi sulit dibangun. Padahal, Indonesia adalah bangsa multikultural yang membutuhkan solidaritas.

Sejarah bangsa menunjukkan kekuatan gotong royong. Proklamasi kemerdekaan melibatkan berbagai latar belakang. Gerakan sosial seperti penolakan RUU kontroversial juga memperlihatkan kekuatan lintas identitas. Jika politik identitas terus digunakan secara eksklusif, kita akan kehilangan semangat kebangsaan. Kita perlu kembali pada nilai-nilai inklusif. Dialog antariman dan antarbudaya harus menjadi fondasi politik masa depan.

Indonesia membutuhkan narasi politik yang baru. Narasi ini harus menyatukan, bukan memecah. Ia harus menolak ekstremisme identitas. Ia harus menawarkan visi kebangsaan yang inklusif. Dialog antariman dapat menjadi jalan keluar. Barack Obama pernah menegaskan bahwa “politik identitas yang sempit hanya akan melemahkan demokrasi.” Kita perlu narasi yang melampaui batas kelompok dan membangun ruang bersama.

Dialog antariman bukan sekadar toleransi. Ia adalah ruang refleksi bersama. Ia mengangkat nilai-nilai universal seperti keadilan, kasih, dan solidaritas. Dalam dialog, perbedaan menjadi kekayaan. Iman menjadi sumber inspirasi, bukan alat eksklusi. Angela Merkel menekankan bahwa “keragaman adalah kekuatan, bukan ancaman.” Pernyataan ini mengajak kita untuk melihat perbedaan sebagai fondasi persatuan.

Narasi inklusif harus menjadi bagian dari strategi politik. Partai dan kader perlu mengangkat nilai-nilai lintas iman dalam kampanye dan pendidikan politik. Mereka harus menjadi fasilitator dialog, bukan penyebar retorika sektarian. Kofi Annan pernah berkata, “Tanpa inklusi, tidak ada perdamaian yang berkelanjutan.” Politik Indonesia perlu kembali pada semangat kebangsaan yang merangkul semua.

Kader partai harus mengalami perubahan peran. Mereka tidak cukup menjadi teknokrat yang hanya menjalankan prosedur. Mereka harus tampil sebagai fasilitator dialog. Tugas mereka bukan sekadar memenangkan suara, tetapi membangun ruang komunikasi antar kelompok. Retorika sektarian harus dihindari. Narasi kebangsaan yang inklusif harus menjadi prioritas.

Kader yang reflektif akan mengajak masyarakat berdiskusi secara terbuka. Mereka tidak hanya membela kepentingan kelompok sendiri. Mereka membawa nilai-nilai lintas iman dan budaya ke dalam ruang politik. Pendekatan ini memperkuat kohesi sosial. Politik menjadi sarana membangun keadilan, bukan alat mempertajam perbedaan.

Pendidikan politik harus berbasis spiritualitas dan refleksi. Kader perlu memahami makna pelayanan dalam politik. Mereka harus mampu menghubungkan nilai-nilai iman dengan kepentingan publik. Politik yang etis lahir dari kesadaran moral, bukan sekadar kalkulasi elektoral. Dalam konteks ini, pembinaan kader harus melibatkan dimensi batin dan sosial sekaligus.

Peran kader sangat menentukan arah demokrasi. Jika mereka mampu menjadi penjaga kebangsaan, maka politik akan menjadi ruang pertumbuhan bersama. Jika mereka gagal, maka politik akan menjadi sumber perpecahan. Masa depan Indonesia bergantung pada kualitas kader yang mampu menyatukan, bukan memecah.

Situasi politik Indonesia saat ini adalah panggilan refleksi. Kita dihadapkan pada pilihan penting: melanjutkan jalan fragmentasi atau membangun kembali semangat persatuan. Dialog antariman memberi harapan. Ia menawarkan jalan tengah yang etis dan inklusif. Ia membuka ruang bagi nilai-nilai universal untuk menjadi fondasi politik yang manusiawi.

Politik sejati adalah bentuk pelayanan. Ia bukan alat dominasi oleh segelintir orang. Ia adalah sarana memperjuangkan bonum commune. Jika partai dan kader mampu menyatukan bangsa, maka demokrasi akan tumbuh lebih dewasa. Politik akan menjadi ruang pertumbuhan, bukan pertentangan. Masyarakat akan merasakan keadilan dan kasih dalam kebijakan publik.

William Liddle menegaskan bahwa politik identitas ekstrem berisiko mengusir pemilih moderat dan merusak demokrasi deliberatif. Ia menyebut bahwa “politik identitas yang terlalu tajam justru mengancam stabilitas dan efektivitas partai dalam jangka panjang.” Pernyataan ini menjadi pengingat bahwa tanpa narasi inklusif, politik akan kehilangan daya hidupnya. Saatnya menjadikan dialog antariman sebagai jalan pertobatan sosial dan fondasi kebangsaan yang baru.***

Bagikan Artikel Ini
img-content
Anselmus Dore Woho Atasoge

Penulis Indonesiana

10 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler